24 Agu 2015

NU Setuju Pemakzulan Pemimpin Yang Melanggar Konstitusi

Para kiai memandang ketidakstabilan politik tidak bisa dihindari
sebagai implikasi mekanisme pemilihan pemimpin berbasis dukungan suara
terbanyak dan dukungan politik. Tidak jarang, menurut mereka,
kesalahan kecil seorang pemimpin terpilih tanpa dukungan politik yang
kuat dijadikan alasan pemakzulan. Sementara pemimpin yang nyata-nyata
melakukan sebuah kesalahan besar merasa nyaman karena dukungan kuat
dari kolega politiknya.


Hal seperti ini terjadi baik pada kepemimpinan di tingkat pusat,
propinsi dan daerah. Satu sisi bisa membuat pemimpin hati-hati, tapi
di sisi lain pemimpin yang lalim merasa tenang karena mendapat
dukungan kuat sekalipun mengabaikan kebenaran.


Untuk itu, soal pemakzulan pemimpin baik presiden, gubernur, bupati
atau walikota masuk dalam pembahasan dalam Muktamar Ke-33 NU di
Jombang pada awal Agustus 2015 kemarin.


Dalam sidang komisi bahtsul masail diniyah waqi'iyah Muktamar Ke-33
NU, para kiai memutuskan bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak
ada penyebab yang menjadikan pemimpin dapat diberhentikan kecuali jika
nyata-nyata melanggar konstitusi.


Para peserta forum tertinggi di NU ini merekomendasikan agar pemimpin
atau pejabat yang telah terbukti dan ditetapkan secara hukum melakukan
pelanggaran berat dalam konstitusi untuk segera mengundurkan diri atau
meletakkan jabatannya.
Bila tidak mau mengundurkan diri dan juga tidak mau bertobat, maka
pemimpin tersebut bisa dimakzulkan dengan aturan yang konstitusional
selama tidak menimbulkan madharrat yang lebih besar.


"Acuan pemakzulan pemimpin dan mekanismenya itu konstitusi. Ini yang
disepakati bersama," kata Rais Syuriyah PBNU KH Masdar F Masudi.


Pada forum ini para kiai tidak mengangkat norma agama, masalah
pribadi, dukungan politik, atau tekanan media massa sebagai acuan
pemakzulan seorang pemimpin.

Sumber : nu.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar